Friday, September 28, 2007

P3KI Luncurkan Alquran Terjemahan Bahasa Aceh

* Akan Ditempatkan di Setiap Meunasah

Pusat Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI), Senin (24/9) kemarin, meluncurkan Alquran terjemahan dalam bahasa Aceh karya almarhum Tgk H Mahjiddin Jusuf di Auditorium Prof Dr Ali Hasjmy, IAIN Ar Raniry, Banda Aceh. Proses penerjemahan Alquran tersebut memakan waktu hampir 30 tahun sejak dimulai pertama kali pada 25 Nopember 1955.

Peluncuran Alquran terjemah bebas bersajak dalam bahasa Aceh itu, merupakan edisi kedua setelah peluncuran perdana pada tahun 1995. Saat itu, P3KI bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Aceh semasa Gubernur Syamsuddin Mahmud. Pada edisi kedua yang diluncurkan kemarin, kemasan Alquran terjemah tersebut sudah mengalami berbagai perbaikan dan dicetak warna. Peluncuran edisi kedua Alquran terjemah tersebut, terselenggara atas kerjasama P3KI dengan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias.

Kepala Deputi Sosial, Budaya dan Agama BRR NAD-Nias, T Safir Iskandar Wijaya dalam sambutan pada peluncuran kemarin mengatakan, edisi kedua Alquran terjemah dalam bahasa Aceh itu menghabiskan biaya sekitar 1,9 miliar. Dalam kaitan itu, T Safir Iskandar Wijaya berharap ada pihak yang dapat memberikan kontribusi lanjutan bagi penyebaran Alquran terjemah bahasa Aceh dalam masyarakat. Untuk tahap pertama, menurutnya, Alquran terjemah itu akan dibagikan ke seluruh desa yang ada di seluruh Aceh. “Alquran ini akan ditempatkan di setiap meunasah sehingga bisa dibaca dan dipahami maknanya oleh setiap masyarakat Aceh,” katanya.

Menurut T Safir Iskandar Wijaya, ada beberapa hal yang dikembangkan dalam proses rehabilitasi non fisik di Aceh. Pertama pihaknya berupaya menjembatani berbagai kegiatan agar terbentuk masyarakat Aceh yang toleran dan santun. “Paling kurang dengan membaca Alquran dengan terjemah bahasa Aceh, dengan gaya bahasa yang bagus, maka lahirlah penggunaan bahasa yang lembut, indah dan menarik,” katanya.

Karya besar

Sementara itu, Ketua Panitia Peluncuran Alquran terjemahan bahasa Aceh, Dr Abdul Rani Usman MSi mengatakan, Tgk H Mahjiddin Jusuf yang melakukan penerjemahan Alquran ke dalam bahasa Aceh tersebut tidak sempat melihat karya besar yang dilahirkanya itu. Tgk H Mahjiddin Jusuf meninggal pada tahun 1995, pada saat rapat terakhir pentahsisan Alquran itu. “Rapat terakhir untuk siap dicetak edisi perdana, Tgk H Mahjiddin masih mengikutinya. Namun menjelang proses cetak edisi perdana, Tgk Mahjiddin dipanggil Allah (meninggal-red)” katanya.

Disebutkan Abdul Rani Usman, Tgk H Mahjiddin Jusuf merupakan sosok ulama dan pujangga yang telah berjasa menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Aceh, sehingga memudahkan masyarakat untuk memahami teks-teks Alquran. Proses penerjemahan Alquran yang dilakukan Tgk H Mahjiddi Jusuf itu, menurut Abdul Rani Usman memerlukan waktu hampir 30 tahun. “Karya terjemah Alquran ke dalam bahasa Aceh ini merupakan karya besar yang patut ditiru oleh ulama-ulama Aceh yang lain,” ujarnya.

Dalam lembaran biografi penerjemah di Alquran tersebut dijelaskan, Tgk H Mahjiddin Jusuf, lahir di Peusangan, Aceh Utara, 16 September 1918. Pendidikan pertama Tgk H Mahjiddin diterima dari ayahnya, Tgk Fakir Jusuf, yang juga seorang penyair dan pengarang hikayat Aceh di Peusangan. Proses penerjemahan Alquran ke dalam bahasa Aceh untuk pertama kali dilakukan Tgk H Mahjiddin Jusuf pada tanggal 25 Nopember 1955 saat berada dalam penjara di Binjei.

Kegiatan penerjemahan oleh Tgk H Mahjiddin sempat terhenti lebih kurang 20 tahun dan dilanjutkan kembali pada tahun 1977. Saat itu, Tgk H Majiddin baru menyelesaikan tiga surat Alquran yaitu, surat Yasin, al-Kahfi, dan al-Insyirah. Terjemahan tersebut pernah dipublikasikan bersambung di Harian Duta Pantjatjita, Banda Aceh. Proses penerjemahan Alquran itu pun akhirnya selesai pada tahun 1988.

Peluncuran Alquran terjemah bahasa Aceh karya Tgk Mahjiddin Jusuf, Senin kemarin tersebut dihadiri unsur muspida dan berbagai kalangan masyarakat Aceh, termasuk mahasiswa. Alquran terjemahan itu akan disebar ke seluruh meunasah yang ada di Aceh dan akan dibagikan gratis untuk seluruh perguruan tinggi baik yang ada di Aceh, nasional maupun internasional. (ari)
Copyright © 2007 Serambi Indonesia. All rights reserved.
Edisi: 25/09/2007


Read More......

Malaysia Akan Bangun PLTU di Aceh

BANDA ACEH - Sebuah perusahaan swasta asal Malaysia, System Protection and Maintenance (SPM) SDN BHD, akan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu Bara di Blang Ulam, Aceh Besar. Selain itu, investor negeri jiran tersebut juga akan membangun tiga Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Kabupaten Gayo Lues dan Aceh Barat Daya (Abdya).

Komitmen pembangunan pembangkit listrik itu ditandai dengan penandatanganan MoU antara Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar dan Managing Director SPM, Ir Mohd Zaini bin Abdullah di ruang kerja Wagub Aceh, Selasa (25/9).

Nazar dalam sambutannya mengatakan, Pemerintah Aceh selalu membuka kesempatan bagi para investor untuk menanamkan investasi di Aceh, termasuk bagi investor energi listrik yang sangat diperlukan untuk menunjang pengembangan sektor lainnya. Karena itu, Wagub berharap agar SPM dapat bekerja serius sehingga pembangkit listrik tersebut akan bisa dibangun sesuai dengan rencana.

“Kami dari Pemerintah Aceh siap memberikan dukungan penuh kepada SPM dalam rangka pembangunan PLTU dan PLTA di Aceh. Dan kita harap MoU ini serius,” harap Wagub seraya menyatakan MoU itu akan menjadi pendorong bagi PLN pusat agar memahami bahwa Aceh saat ini sangat membutuhkan tambahan listrik.

Dikatakan, sejak ia memimpin Aceh bersama Gubernur Irwandi Yusuf, sudah 18 perusahaan asing yang tertarik untuk melakukan investasi di bidang kelistrikan di Aceh. Namun, kata Nazar, dari jumlah itu, setelah diseleksi berbulan-bulan baru tiga investor (termasuk SPM-red) yang sudah mengarah ke lebih konkret hingga kita laksanakan MoU.

Ketiga investor itu, sebut Wagub adalah, PT Media Group, SPM SDN BHD, dan PT Bumi Power Energi. “Tapi dari tiga investor ini, sepertinya yang sangat serius hanya Media Group dan SPM Malaysia. Bahkan, Media Group saat ini sudah mulai membangun PLTU di Nagan Raya,” rincinya.

Sementara itu, Zaini mengatakan, jika pembangunan pembangkit listrik dengan kapasitas 2 x 100 megawatt (MW) itu selesai, diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan energi listrik di Aceh terutama untuk berbagai kegiatan ekonomi masyarakat dan industri. “PLTU ini nantinya diharapkan akan mampu memenuhi kebutuhan listrik di Aceh minimal lima tahun ke depan atau bahkan bisa lebih,” ujar Zaini.

Untuk pembangunan PLTU ini, kata Zaini, pihaknya menginvestasikan dana sebesar 200 juta dolar AS atau sekitar Rp 2 triliun. Sedangkan untuk membangun PLTA yang berkapasitas 5-15 megawatt, lanjut Zaini, pihaknya mengalokasikan investasi sebesar 30-40 juta ringgit Malaysia.

“Untuk PLTU, kami bisa langsung bekerja ada penandatanganan PBA dengan PLN pusat. Tapi, untuk PLTA yang berkapasitas kecil dapat langsung ditindaklanjuti dengan PLN di Aceh,” tandas Zaini seraya menyatakan PLTU di Aceh Besar itu diperkirakan akan selesai dibangun dalam waktu 30-36 bulan setelah adanya PBA. Sedangkan untuk PLTA, pembangunannya diperkirakan akan selesai dalam waktu 30 bulan.

“Kami berharap Pemerintah Aceh dapat memberikan dukungan penuh kepada kami, agar tidak menemui kesulitan dalam pembangunan pembangkit listrik ini nantinya. Semoga pembangunan ini akan bisa terwujud dalam waktu dekat,” harapnya.(jal)
Copyright © 2007 Serambi Indonesia. All rights reserved.
Edisi: 26/09/2007


Read More......

’Senjata‘ Pergub 14 Hasilkan Rp 65,8 M

BANDA ACEH - Kebijakan Gubernur tentang pembebasan biaya bea balik nama kendaraan bermotor (BBN-KB) non-BL yang dituangkan dalam Pergub Nomor 14 Tahun 2007 telah mendorong penerimaan pajak kendaraan bermotor (PKB) di Aceh secara drastis. Hingga akhir Agustus 2007, penerimaan PKB sudah mencapai Rp 65,8 miliar atau 84,39 persen dari target Rp 78 miliar.

Kadispenda Aceh, Idrus Hayat kepada Serambi, Selasa (25/9) mengatakan, Pergub No 14 Tahun 2007 itu benar-benar ampuh untuk dijadikan dasar hukum dan kebijakan baru dalam upaya peningkatan penerimaan PKB.

Menurutnya, tujuan dikeluarkannya Pergub itu, pertama untuk membantu korban bencana gempa dan tsunami yang ingin berusaha dalam bidang transportasi. Karena, pascatsunami banyak masyarakat Aceh yang membeli mobil bekas dan baru di luar Aceh untuk dijadikan alat transportasi pribadi maupun kegiatan usahanya.

Dengan adanya pergub tersebut, memberikan keringanan kepada masyarakat Aceh untuk mengubah nomor polisi kendaraannya dari non-BL menjadi BL, tanpa dikenai biaya. Keringanan lain, setelah mereka mengubah nomor polisi ke BL, maka untuk memperpanjang pembayaran pajak kenderaan tidak perlu lagi ke luar daerah.

Keringanan yang dikeluarkan gubernur Aceh itu sudah berhasil menjaring 10.455 unit kendaraan bermotor non-BL yang beroperasi di Aceh dan telah mengubah nomor polisi kendarannya menjadi BL. Jumlah itu terkumpul sejak Pergub 14/2007 diberlakukan efektif pada 1 Mei 2007 sampai akhir Agustus 2007. “Batas akhir pergub itu sampai akhir Oktober 2007,” kata Idrus.

Hapus biaya formulir
Sejumlah pemilik kendaraan non-BL yang dimintai tanggapannya mengatakan, kebijakan Gubernur Aceh memberikan pembebasan biaya kepada pemilik kendaraan yang memutasikan nopol kendaraan dari non-BL ke BL sangat membantu rakyat Aceh. Kebijakan itu hendaknya diikuti dengan kebijakan pelayanan administrasi yang lebih baik dan bersih dari berbagai pungutan lainnya. Misalnya biaya formulir.

Amin, seorang pemilik kendaraan non-BL mengatakan, sejak Pemerintah Aceh membuat kebijakan pembebasan biaya mutasi non-BL ke BL, Kantor Samsat di Medan membebaskan pembayaran PKB dari pungutan formulir. Pemilik kendaraan nopol BK yang ingin membayar PKB tahunannya tidak lagi dikenakan biaya formulir. “Dengan hanya menunjukkan KTP dan surat kendaraannya seperti STNK, bisa langsung membayar PKB-nya di loket PKB,” kata Amin.

Sementara di Aceh, ungkapnya, biaya formulir yang dikenakan kepada wajib pajak cukup tinggi mencapai Rp 20.000 bagi sepeda motor dan Rp 30.000 bagi mobil untuk pembayaran pajak tahunan, sedangkan untuk pajak lima tahunan lebih besar lagi yaitu untuk mobil Rp 70. 000 dan sepeda motor Rp 40.000/kendaraan. “Jadi, pengenakan biaya formulir yang cukup besar itu sangat mebebani wajib pajak,” ujarnya.

Azhar, pemilik kenderaan non-BL lainnya mengusulkan, pengenaan biaya formulir bagi pemilik kendaraan yang akan membayar pajak tahunan kalau bisa dihapus saja. Biaya formulir yang selama ini dibebankan kepada wajib pajak, pebebanannya dialihkan kepada APBA atau APBK di masing-masing kabupaten/kota.(her)
Copyright © 2007 Serambi Indonesia. All rights reserved.
Edisi: 27/09/2007


Read More......

Ketika Gubernur Bergerilya Cari Makanan Sahur


RAHMAT (56), masih tertidur pulas ketika seorang pria mengetuk pintu gubuk reotnya di Desa Seubalui, Kecamatan Darul Kamal, Aceh Besar. Dari celah-celah rumahnya terlihat tubuh ringkih Rahmat masih tergolek di atas dipan kayu beralaskan tikar.

Sebuah kompor minyak tanah dan beberapa peralatan dapur tampak berserakan di lantai tanah, tepat di samping ranjang Rahmat. Kondisi itu jelas memperlihatkan bahwa ruangan itu bukan hanya sekadar ruang tidur, tapi juga sekaligus sebagai dapur.

Setelah tiga kali diucapkan salam, Rahmat baru menjawab dan bertanya siapa gerangan yang datang ke rumahnya di tengah malam buta. Saat itu, jarum jam masih menunjukkan pukul 03.30 dini hari.

Sejenak kemudian, terdengar suara seorang perempuan berseru dari rumah yang berada di belakang rumah Rahmat. “Mat kabeudoh dilee, na jamee (Rahmat bangun, ada tamu),” kata seorang perempuan tua yang berdiri di atas tangga rumah panggung berkonstruksi kayu.

Rahmat pun dengan lemas bangkit dari tidurnya dan membuka pintu dapur. “Pak, bolehkan kami menumpang makan sahur di rumah Bapak,” tanya pria yang mengetuk pintu rumahnya, setelah memberi salam dan berbasa-basi menanyakan kondisi Rahmat dan keluarganya.

“Waduh saya hanya sendiri, ini juga belum ada apa-apa,” kata Rahmat menolak dengan halus permintaan itu. Dia sama sekali tak tahu bahwa yang bertandang ke rumahnya di tengah malam buta itu adalah orang nomor satu di Aceh, Irwandi Yusuf, bersama sang First Lady, Darwati A Gani, plus wartawan Serambi.

Pagi itu, Selasa (25/9), Irwandi dan istrinya yang baru tiba di Aceh sepulang melawat dua minggu dari Amerika Serikat, pada sore hari secara tiba-tiba mengajak Serambi berkeliling ke kawasan pedesaan di pinggiran Kota Banda Aceh. “Kita ke Peukan Biluy dan mencari rumah gubuk untuk makan sahur. Kita harus merasakan bagaimana mereka melewati sahur dalam menjalankan ibadah puasa di bulan suci ini,” ajak Irwandi setelah berjumpa Serambi di depan Masjid Raya Baiturrahman. Saat itu, jam menunjukkan pukul 03.00 WIB. Akhirnya, permufakatan itu membawa kami bertiga ke rumah Rahmat.

Merasa permintaannya ditolak Rahmat, Irwandi kemudian mendekati si nenek yang masih berdiri di depan pintu dapurnya. “Assalamualaikum Ummi. Kami musafir, mau numpang sahur. Apakah Ummi punya sedikit kemudahan, satu dua suap nasi untuk kami bertiga?” ujar Irwandi dengan nada yang dibuat sedikit memelas.

Sama halnya dengan Rahmat, sang nenek yang belakangan diketahui bernama Aisyah (59) itu juga berupaya menolak dengan halus permintaan Irwandi. Dia juga tak mengenali sosok yang datang ke rumahnya saat itu, meski sorot lampu neon dari dalam dapur rumahnya menerangi wajah Irwandi. “Aduh saya tidak punya apa-apa. Tidak ada ikan, nasi juga belum dimasak,” katanya.

Aisyah terus saja menolak permintaan itu, meski Irwandi berkali-kali merayunya untuk memberikan sesuap nasi. “Walaupun ikan asin jadilah,” ujar Irwandi. Karena terus ditolak, Irwandi pun kembali ke rumah Rahmat sambil berbual.

Namun, Irwandi tak kehilangan akal. Kali ini, ia minta istrinya, Darwati, untuk membuat pendekatan khas wanita pada Nek Aisyah. Ternyata strategi ini cukup mujur, tiba-tiba terdengar suara istrinya yang meminta Irwandi untuk naik ke atas rumah.

Saat Serambi masuk ke dapur rumah si nenek, Darwati malah sudah mulai mengiris bawang untuk membuat telur dadar, setelah sebelumnya mendapatkan dua butir telur pemberian Rahmat.

Meski suasana sudah mencair, diam-diam si nenek membangunkan seorang anak perempuannya di rumah yang berdempetan dengan rumahnya. Entah karena merasa takut, anak perempuannya yang bernama Nursyamsiah (35) ini kemudian memanggil abangnya, Dahlan, yang tinggal di dalam kios sekitar 100 meter dari rumahnya.

Sejenak kemudian, Dahlan bersama dengan istrinya, Nurbaiti (40) pun tiba di rumah itu. Antara percaya dan tidak, Nurbaiti dan Dahlan saling berbisik seraya memastikan bahwa yang datang ke rumahnya adalah Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf. “Tadi dia (Nursyamsiah) membangunkan kami, katanya ada orang tidak dikenal minta makan sahur. Makanya saya datang ke sini, eh, ternyata Pak Gubernur,” ujar Dahlan seraya menunjuk ke arah Nursyamsiah yang terlihat tersipu malu.

Setelah itu, suasana berubah 180 derajat. Si nenek yang sedari tadi terkesan masih agak ketakutan, mulai sibuk mempersiapkan segala macam sajian untuk santap sahur. Sejenak kemudian berbagai macam menu pun hadir di ruangan seukuran 5 x 4 meter berlantaikan papan itu. Ada daging rebus (sie reuboh), ikan tongkol asam keueng, sayur bening, plus telur dadar dan kerupuk yang digoreng Darwati.

“Apa juga ndak ada ikan, ini sudah cukup lumayan banyak,” celutuk Irwandi menggoda Nek Aisyah yang terlihat tersipu malu.

“Bukan begitu, tadi saya lihat Bapak datang dengan mobil. Jadi kesannya lauk seperti ini kan tidak layak untuk tamu bermobil,” kilah Nek Aisyah bernada membela diri.

Sesaat kemudian, seisi rumah itu, termasuk dua cucu Nek Aisyah yang sudah yatim mulai makan dengan lahap. Bahkan Irwandi sampai menambah nasi, karena kesemsem dengan lauk buatan Nek Aisyah dan telur dadar bikinan istrinya, Darwati. Irwandi juga meneguk dua gelas kopi buatan si nenek.

Setelah makan, Irwandi mulai mengobrol tentang berbagai persoalan dengan rakyatnya dari golongan papa itu. Mulai dari persoalan jalan, kondisi keamanan, hingga mata pencaharian masyarakat di kawasan tersebut. Tak terasa, kami telah menghabiskan waktu satu jam di rumah tersebut. Tepat pukul 05.30 WIB, Irwandi memohon pamit untuk pulang. Tak lupa ia serahkan sumbangan kepada Nek Aisyah, juga kepada dua cucunya yang sudah yatim, plus kepada Rahmat yang disambangi pada rumah pertama.

Sahur sendirian
Rahmat sendiri adalah seorang duda. Ia ditinggal mati istrinya hampir setahun lalu. Mereka hidup dari hasil menjual kue semprong (supet). “Sejak kepergian almarhumah, kehidupan saya mulai terasa sulit. Karena saya harus membuat kue semprong sendirian,” katanya.
Sejak setahun belakangan, ia mulai mengeluhkan pinggangnya yang terasa sakit bila harus berlama-lama duduk. “Kadang sampai empat -lima jam saya duduk membakar supet,” ungkap pria asal Sumatera Utara yang sudah menetap di Aceh sejak tahun 1978 ini. Rumah itu adalah milik almarhumah istrinya dan telah didiami sejak tahun 1997.
Rahmat punya lima anak, tapi hanya satu yang masih tinggal dengannya. Tapi malam itu, seorang anak yang tinggal dengannya tak berada di rumah, karena sedang bertadarus di meunasah desa.
Sejak ditinggal istri dan anak-anaknya yang merantau, Rahmat melewati sahur di bulan puasa ini sendirian. Satu lempeng telur ayam buras terlihat sudah kosong di ruang itu, mengindikasikan bahwa dia selalu makan nasi dengan menu telur ayam.

Setelah berpamitan, mobil X-Trail BK 8663 XY warna hitam yang disetir Irwandi kembali meluncur membelah kepekatan malam di jalanan pinggiran Kota Banda Aceh. Tidak seperti ketika pergi, kini tujuannya sudah jelas, yakni kembali ke kediaman Irwandi Yusuf di kawasan Lampriek Banda Aceh.

Sebagai catatan, kami hanya pergi bertiga dalam satu mobil, tidak ada pengamanan sedikit pun, termasuk pengamanan tertutup, layaknya kunjungan seorang gubernur.

Dalam perjalanan menembus kegelapan di jalanan desa yang berada di pinggiran Bukit Barisan itu, sesekali Irwandi melepaskan kejengkelannya ketika mobil terperosok ke dalam lubang yang menghiasi hampir sepanjang jalan menuju ke Desa Bilui. “Mulai tahun depan, kita harus membangun semua jalan di pedesaan agar transportasi masyarakat jadi mudah,” celutuk Irwandi sambil zig-zag memutar setir menghindari lubang di jalan itu.

Entah tekad Irwandi itu muncul karena jengkel atau ia memang punya program yang terencana untuk itu. Tapi yang jelas Irwandi mengatakan bahwa semua program yang dijalankan Pemerintah Aceh saat ini adalah melanjutkan program yang dilaksanakan pada masa Pj Gubernur Mustafa Abubakar. “Dalam tahun 2007 ini saya hanya melanjutkan program Pak Mustafa. Saya masih memindahkan ’lemak-lemak‘ yang terasa masih lebih dalam program dulu, guna menghindari pemborosan,” kata dia.

Irwandi menambahkan, satu program murni yang digagasnya pada tahun 2007 ini adalah pemberian beasiswa untuk anak yatim yang akan mulai diluncurkan setelah Lebaran ini. Program ini merupakan kompensasi dari perampingan sejumlah dinas/badan dan biro di jajaran Pemerintah Aceh.

Ditanya tentang kesan kunjungannya ke Desa Seubalui, Irwandi mengatakan bahwa sebenarnya kunjungan seperti itu sudah biasa baginya, terutama sejak ia masih bergelut di dalam organisasi GAM.

Dari kunjungan acak itu Irwandi menangkap kesan bahwa rakyatnya tidak ada lagi yang lapar. Yang mengimpit mereka hanyalah masalah ekonomi, sehingga belum mampu hidup layak. Namun, Nek Aisyah yang mereka kunjungi itu tidak bisa jadi ukuran lagi, mengingat ia punya banyak anak.

Kunjungan kali pertama di bulan puasa itu, kata Irwandi, tidak menjamin bahwa semua masyarakat sudah sejahtera. “Tapi saya kan sejak dulu hidup bersama rakyat, sehingga saya tahu pasti bagaimana kehidupan rakyat. Saya kan bukan orang kota,” timpal alumnus Oregon State University, USA, ini.

Ia juga sempat menyentil kalangan LSM. “Seharusnya LSM itu memantau saja agar tidak sampai terjadi korupsi atau penyelewengan. Kalau memang langkah yang saya lakukan salah, tolong mereka berikan solusi, sehingga rakyat cepat mendapatkan pekerjaan,” timpalnya.

Di pengujung pertemuan kami subuh itu Irwandi juga menambahkan, “Kalau semua mantan TNA sudah punya pekerjaan, saya pikir Aceh akan aman.” (zainal arifin m nur)
Copyright © 2007 Serambi Indonesia. All rights reserved.
Edisi: 28/09/2007


Read More......