Monday, April 23, 2007

Meet the People ala Parlemen Singapura

Tanpa Anggaran, Tiap Selasa Malam Lembur Temui Warga
Jika demokrasi diartikan bebas berdemonstrasi, hal itu tak pernah ada di Singapura. Namun, jika demokrasi adalah sistem dari, oleh, dan untuk rakyat, negara kota itu tiap Selasa malam mempraktikkannya.

ABDUL ROKHIM, Singapura

BERANGKAT dari Indonesia bersamaan dengan mencuatnya berita DPR ngotot meminta anggaran laptop Rp 21 juta per unit membuat saya tak terlalu bersemangat menghadiri agenda pertemuan anggota parlemen Singapura dengan warga pemilih (konstituen) . Selain teringat berita laptop itu, pertemuan membosankan di gedung parlemen yang penuh kursi kosong dan orang mengantuk seperti di tanah air langsung terbayang.

Nooraini Hamzah, deputy director Media Relation Division Ministry of Information Communication and the Arts (MICA), yang mendampingi rombongan peserta Indonesian Journalist Visit Programme, tak henti-henti meyakinkan bahwa acara kegiatan parlemen Singapura Meet the People Session sangat menarik.


"Anda akan melihat dan belajar bagaimana anggota parlemen kami bekerja melayani rakyatnya," ujar wanita Melayu itu. Tak ingin mengecewakan tuan rumah, seluruh anggota rombongan wartawan Indonesia peserta Journalist Visit Programme akhirnya berangkat juga.

Setelah menempuh perjalanan setengah jam dari penginapan di pusat kota, sampailah kami di gedung pertemuan, tempat acara Meet the People Session. Tulisan "Balai Pertemuan Marsiling Drive" dengan huruf merah mencolok di bagian atas dinding depan gedung menyambut rombongan. Suasana di teras gedung sangat ramai. Pria-wanita, tua-muda, bahkan tak sedikit anak-anak memenuhi kursi yang disediakan.

Masuk ke gedung, kesibukan langsung terlihat. Terdapat sebelas bilik dengan sekat kayu setinggi leher di kiri dan kanan. Dalam setiap bilik, terlihat pembicaraan serius antara orang di belakang meja dan "tamu" yang berada di hadapannya.

"Mereka adalah hulubalang (staf) yang mewakili saya membantu menyelesaikan masalah warga konstituen saya di Marsiling Drive (kelompok hunian warga yang terdiri atas beberapa blok rumah susun di Marsiling, kawasan utara Singapura)," jelas Hawazi Daipi, satu di antara delapan anggota parlemen Singapura dari daerah pemilihan Sembawang GRC (Group Representative Constituency) yang menyambut kami.

Dengan penjelasan Hawazi dan suasana Meet the People Session yang kami rasakan langsung, semua bayangan tentang pertemuan anggota parlemen yang menjemukan langsung menguap.

Melihat rombongannya antusias, Nooraini terlihat senang dan langsung mengajak masuk ke bilik untuk mengetahui apa saja yang dikeluhkan warga Singapura terhadap wakilnya di parlemen. Saya dan teman dari kantor berita Antara mendapat jatah mengikuti salah satu hulubalang Hawazi, yakni Maszenan Abdul Majid.

Seorang ibu berjilbab dengan menggandeng anaknya yang masih remaja memasuki bilik Maszenan. Ibu yang tinggal di blok I Marsiling Drive itu bernama Siti Fatimah. Fatimah kepada Maszenan mengeluhkan tagihan uang sampah (service charge) dari pengelola rumah susun yang hingga dua tahun belum bisa dia bayar.

"Saya tidak ada maksud menunggak, Pak Cik. Namun, penghasilan suami tidak cukup, sementara saya harus menanggung biaya hidup empat anak dan emak yang sudah tua," kata Fatimah memelas dengan logat Melayu yang kental.

Fatimah meminta Hawazi, melalui kewenangannya sebagai anggota parlemen, bisa memberikan rekomendasi kepada Housing and Development Board (HDB), BUMN semacam perumnas di Singapura agar diberi kelonggaran cicilan. "Jika Pak MP (member parlemen -sebutan warga Singapura kepada anggota parlemen) kesulitan, saya ingin diberi license (izin) saja agar boleh jual rumah," tambahnya sambil menyerahkan surat tagihan kontraktor cleaning service dan beberapa berkas kepada Maszenan.

Maszenan yang bertahun-tahun menjadi orang kepercayaan Hawazi memeriksa secara cermat surat Fatimah. "Oh, kamu nikah dua kali, ya," tanyanya spontan setelah membaca biodata dan surat cerai Fatimah.

"Ya, Pak Cik. Itulah tambah berat penghidupan saya. Sebab, saya tak punya hak atas rumah sekarang karena suami pertama belum kasih license untuk menjualnya. Sedangkan suami kedua kerja kargo, upahnya dikit. Saya sendiri tak boleh kerja karena harus tunggu Emak dan rawat anak di rumah," jelas Fatimah.

Semua cerita Fatimah itu dicatat Maszenan di formulir hasil interview (wawancara). "Saya tak pernah jumpa istri tanggung anak, lalu harta benda tak boleh jual. Kisah ini dekat di hati Pak MP, saya upayakan mendapat bantuan. Sementara menunggu hasilnya, ibu tetap rawat anak dan emak," ujar Maszenan kepada Fatimah. Puas keluhannya mendapat tanggapan positif dari hulubalang MP, Fatimah pamit keluar.

Semua proses Meet the People itu berlangsung tak lebih dari 10 menit. Setelah Fatimah, masuk lagi pria dari etnis Tionghoa. Dengan kaus lusuh dan bercelana pendek, dia kepada Maszenan menceritakan tentang tetangganya yang sering bikin suara ribut.

Begitulah, hampir setiap 10 menit warga masuk bilik dan menyampaikan aneka masalah kepada Hulubalang Hawazi. Sementara Pak MP, Hawazi, juga sibuk di ruang kerja untuk memeriksa kasus-kasus yang direkomendasi hulubalangnya untuk mendapatkan perhatian. "Tapi, jika ada masalah yang menyangkut hajat banyak orang, saya akan menemui sendiri mereka," katanya.

Kegiatan Meet the People berlangsung tiap Selasa malam. Untuk kompleks hunian Marsiling Drive yang memiliki 16.301 kepala keluarga, acara temu warga dan parlemen itu berlangsung hingga tengah malam. "Rata-rata kami bisa melayani 70 hingga 80 warga tiap pekan. Sebetulnya bisa lebih banyak. Namun, waktu kami maksimal sampai pukul 24.00," terang Hawazi.

Mengenai jenis masalah yang dikeluhkan warga yang diwakilinya, mantan wartawan senior Koran Berita Harian itu menyebutkan masalah keuangan dan perumahan. Masalah lain berkisar pada persoalan yang dihadapi warga sehari-hari, mulai yang paling sederhana, cekcok suami istri, ayah anak, kesulitan mencari kerja, tetangga yang memasang musik terlalu keras, hingga warga meminta uang untuk keperluan yang mendesak.

"Karena harga tanah di Singapura sangat mahal, hampir 90 persen warga Singapura tinggal di rumah susun, flat, dan apartemen. Jadi, masalah mereka sangat kompleks" jelasnya.

Selain menyampaikan masalah, banyak warga yang memberikan feedback (masukan) kepada Hawazi tentang berbagai isu sosial lokal sampai kebijakan luar negeri. "Termasuk masalah impor pasir yang sekarang sedang ramai Anda beritakan," katanya.

Hawazi yang merupakan tokoh senior di partai berkuasa Singapura, People’s Action Party (PAP), dalam setiap Meet the People Session dibantu 60 hulubalang. "Mereka dibagi empat tim dan bertugas secara bergantian, sepekan tiap bulan. Hulubalang saya harus warga Sembawang GRC juga," terangnya. Seluruh hulubalang itu adalah volunteers (sukarelawan) sehingga tak menerima imbalan apa pun saat membantu Hawazi.

Selain hadir dalam setiap acara pertemuan warga, Hawazi mengadakan kunjungan dari rumah ke rumah, mengunjungi pasar, atau tempat ibadah. "Dengan melakukan semua ini, diharapkan anggota-anggota parlemen benar-benar dapat mengetahui permasalahan dan aspirasi yang hidup di tengah masyarakat," katanya.

Total anggota parlemen di Singapura 84 orang. Karena menganut sistem republik parlementer seperti Inggris, perdana menteri dan seluruh anggota kabinet Singapura adalah anggota parlemen (MP). Karena MP harus menghadiri acara Meet the People, PM Lee Hsien Loong, Menlu George Yeoh, dan seluruh anggota kabinet juga wajib hadir. "Namun, bagi PM dan anggota kabinet, ada keringanan untuk tak hadir tiap pekan karena kesibukan. Jika absen, akan ada hulubalang yang akan menggantikan, " terang Nooraini.

Meskipun Singapura tergolong sangat kaya, dengan pendapatan per kapita tertinggi kelima di dunia, yakni USD 28.362 (Rp 255 juta, bandingkan dengan Indonesia USD 4.458 atau Rp 40,2 juta), anggota parlemen tidak mendapatkan anggaran khusus dalam kegiatan mereka dengan warga konstituen.

Mereka hanya mendapatkan biaya kegiatan (allowance cost), seperti biaya pengadaan formulir dalam Meet the People Session. "Nilainya kecil lah, tak elok kalau dikatakan. Sumber dana terbesar kami justru dari iuran warga," terangnya. Betul-betul wakil dari, oleh, dan untuk rakyat. (*)

Powered by ScribeFire.

No comments: