Friday, September 28, 2007

Ketika Gubernur Bergerilya Cari Makanan Sahur


RAHMAT (56), masih tertidur pulas ketika seorang pria mengetuk pintu gubuk reotnya di Desa Seubalui, Kecamatan Darul Kamal, Aceh Besar. Dari celah-celah rumahnya terlihat tubuh ringkih Rahmat masih tergolek di atas dipan kayu beralaskan tikar.

Sebuah kompor minyak tanah dan beberapa peralatan dapur tampak berserakan di lantai tanah, tepat di samping ranjang Rahmat. Kondisi itu jelas memperlihatkan bahwa ruangan itu bukan hanya sekadar ruang tidur, tapi juga sekaligus sebagai dapur.

Setelah tiga kali diucapkan salam, Rahmat baru menjawab dan bertanya siapa gerangan yang datang ke rumahnya di tengah malam buta. Saat itu, jarum jam masih menunjukkan pukul 03.30 dini hari.

Sejenak kemudian, terdengar suara seorang perempuan berseru dari rumah yang berada di belakang rumah Rahmat. “Mat kabeudoh dilee, na jamee (Rahmat bangun, ada tamu),” kata seorang perempuan tua yang berdiri di atas tangga rumah panggung berkonstruksi kayu.

Rahmat pun dengan lemas bangkit dari tidurnya dan membuka pintu dapur. “Pak, bolehkan kami menumpang makan sahur di rumah Bapak,” tanya pria yang mengetuk pintu rumahnya, setelah memberi salam dan berbasa-basi menanyakan kondisi Rahmat dan keluarganya.

“Waduh saya hanya sendiri, ini juga belum ada apa-apa,” kata Rahmat menolak dengan halus permintaan itu. Dia sama sekali tak tahu bahwa yang bertandang ke rumahnya di tengah malam buta itu adalah orang nomor satu di Aceh, Irwandi Yusuf, bersama sang First Lady, Darwati A Gani, plus wartawan Serambi.

Pagi itu, Selasa (25/9), Irwandi dan istrinya yang baru tiba di Aceh sepulang melawat dua minggu dari Amerika Serikat, pada sore hari secara tiba-tiba mengajak Serambi berkeliling ke kawasan pedesaan di pinggiran Kota Banda Aceh. “Kita ke Peukan Biluy dan mencari rumah gubuk untuk makan sahur. Kita harus merasakan bagaimana mereka melewati sahur dalam menjalankan ibadah puasa di bulan suci ini,” ajak Irwandi setelah berjumpa Serambi di depan Masjid Raya Baiturrahman. Saat itu, jam menunjukkan pukul 03.00 WIB. Akhirnya, permufakatan itu membawa kami bertiga ke rumah Rahmat.

Merasa permintaannya ditolak Rahmat, Irwandi kemudian mendekati si nenek yang masih berdiri di depan pintu dapurnya. “Assalamualaikum Ummi. Kami musafir, mau numpang sahur. Apakah Ummi punya sedikit kemudahan, satu dua suap nasi untuk kami bertiga?” ujar Irwandi dengan nada yang dibuat sedikit memelas.

Sama halnya dengan Rahmat, sang nenek yang belakangan diketahui bernama Aisyah (59) itu juga berupaya menolak dengan halus permintaan Irwandi. Dia juga tak mengenali sosok yang datang ke rumahnya saat itu, meski sorot lampu neon dari dalam dapur rumahnya menerangi wajah Irwandi. “Aduh saya tidak punya apa-apa. Tidak ada ikan, nasi juga belum dimasak,” katanya.

Aisyah terus saja menolak permintaan itu, meski Irwandi berkali-kali merayunya untuk memberikan sesuap nasi. “Walaupun ikan asin jadilah,” ujar Irwandi. Karena terus ditolak, Irwandi pun kembali ke rumah Rahmat sambil berbual.

Namun, Irwandi tak kehilangan akal. Kali ini, ia minta istrinya, Darwati, untuk membuat pendekatan khas wanita pada Nek Aisyah. Ternyata strategi ini cukup mujur, tiba-tiba terdengar suara istrinya yang meminta Irwandi untuk naik ke atas rumah.

Saat Serambi masuk ke dapur rumah si nenek, Darwati malah sudah mulai mengiris bawang untuk membuat telur dadar, setelah sebelumnya mendapatkan dua butir telur pemberian Rahmat.

Meski suasana sudah mencair, diam-diam si nenek membangunkan seorang anak perempuannya di rumah yang berdempetan dengan rumahnya. Entah karena merasa takut, anak perempuannya yang bernama Nursyamsiah (35) ini kemudian memanggil abangnya, Dahlan, yang tinggal di dalam kios sekitar 100 meter dari rumahnya.

Sejenak kemudian, Dahlan bersama dengan istrinya, Nurbaiti (40) pun tiba di rumah itu. Antara percaya dan tidak, Nurbaiti dan Dahlan saling berbisik seraya memastikan bahwa yang datang ke rumahnya adalah Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf. “Tadi dia (Nursyamsiah) membangunkan kami, katanya ada orang tidak dikenal minta makan sahur. Makanya saya datang ke sini, eh, ternyata Pak Gubernur,” ujar Dahlan seraya menunjuk ke arah Nursyamsiah yang terlihat tersipu malu.

Setelah itu, suasana berubah 180 derajat. Si nenek yang sedari tadi terkesan masih agak ketakutan, mulai sibuk mempersiapkan segala macam sajian untuk santap sahur. Sejenak kemudian berbagai macam menu pun hadir di ruangan seukuran 5 x 4 meter berlantaikan papan itu. Ada daging rebus (sie reuboh), ikan tongkol asam keueng, sayur bening, plus telur dadar dan kerupuk yang digoreng Darwati.

“Apa juga ndak ada ikan, ini sudah cukup lumayan banyak,” celutuk Irwandi menggoda Nek Aisyah yang terlihat tersipu malu.

“Bukan begitu, tadi saya lihat Bapak datang dengan mobil. Jadi kesannya lauk seperti ini kan tidak layak untuk tamu bermobil,” kilah Nek Aisyah bernada membela diri.

Sesaat kemudian, seisi rumah itu, termasuk dua cucu Nek Aisyah yang sudah yatim mulai makan dengan lahap. Bahkan Irwandi sampai menambah nasi, karena kesemsem dengan lauk buatan Nek Aisyah dan telur dadar bikinan istrinya, Darwati. Irwandi juga meneguk dua gelas kopi buatan si nenek.

Setelah makan, Irwandi mulai mengobrol tentang berbagai persoalan dengan rakyatnya dari golongan papa itu. Mulai dari persoalan jalan, kondisi keamanan, hingga mata pencaharian masyarakat di kawasan tersebut. Tak terasa, kami telah menghabiskan waktu satu jam di rumah tersebut. Tepat pukul 05.30 WIB, Irwandi memohon pamit untuk pulang. Tak lupa ia serahkan sumbangan kepada Nek Aisyah, juga kepada dua cucunya yang sudah yatim, plus kepada Rahmat yang disambangi pada rumah pertama.

Sahur sendirian
Rahmat sendiri adalah seorang duda. Ia ditinggal mati istrinya hampir setahun lalu. Mereka hidup dari hasil menjual kue semprong (supet). “Sejak kepergian almarhumah, kehidupan saya mulai terasa sulit. Karena saya harus membuat kue semprong sendirian,” katanya.
Sejak setahun belakangan, ia mulai mengeluhkan pinggangnya yang terasa sakit bila harus berlama-lama duduk. “Kadang sampai empat -lima jam saya duduk membakar supet,” ungkap pria asal Sumatera Utara yang sudah menetap di Aceh sejak tahun 1978 ini. Rumah itu adalah milik almarhumah istrinya dan telah didiami sejak tahun 1997.
Rahmat punya lima anak, tapi hanya satu yang masih tinggal dengannya. Tapi malam itu, seorang anak yang tinggal dengannya tak berada di rumah, karena sedang bertadarus di meunasah desa.
Sejak ditinggal istri dan anak-anaknya yang merantau, Rahmat melewati sahur di bulan puasa ini sendirian. Satu lempeng telur ayam buras terlihat sudah kosong di ruang itu, mengindikasikan bahwa dia selalu makan nasi dengan menu telur ayam.

Setelah berpamitan, mobil X-Trail BK 8663 XY warna hitam yang disetir Irwandi kembali meluncur membelah kepekatan malam di jalanan pinggiran Kota Banda Aceh. Tidak seperti ketika pergi, kini tujuannya sudah jelas, yakni kembali ke kediaman Irwandi Yusuf di kawasan Lampriek Banda Aceh.

Sebagai catatan, kami hanya pergi bertiga dalam satu mobil, tidak ada pengamanan sedikit pun, termasuk pengamanan tertutup, layaknya kunjungan seorang gubernur.

Dalam perjalanan menembus kegelapan di jalanan desa yang berada di pinggiran Bukit Barisan itu, sesekali Irwandi melepaskan kejengkelannya ketika mobil terperosok ke dalam lubang yang menghiasi hampir sepanjang jalan menuju ke Desa Bilui. “Mulai tahun depan, kita harus membangun semua jalan di pedesaan agar transportasi masyarakat jadi mudah,” celutuk Irwandi sambil zig-zag memutar setir menghindari lubang di jalan itu.

Entah tekad Irwandi itu muncul karena jengkel atau ia memang punya program yang terencana untuk itu. Tapi yang jelas Irwandi mengatakan bahwa semua program yang dijalankan Pemerintah Aceh saat ini adalah melanjutkan program yang dilaksanakan pada masa Pj Gubernur Mustafa Abubakar. “Dalam tahun 2007 ini saya hanya melanjutkan program Pak Mustafa. Saya masih memindahkan ’lemak-lemak‘ yang terasa masih lebih dalam program dulu, guna menghindari pemborosan,” kata dia.

Irwandi menambahkan, satu program murni yang digagasnya pada tahun 2007 ini adalah pemberian beasiswa untuk anak yatim yang akan mulai diluncurkan setelah Lebaran ini. Program ini merupakan kompensasi dari perampingan sejumlah dinas/badan dan biro di jajaran Pemerintah Aceh.

Ditanya tentang kesan kunjungannya ke Desa Seubalui, Irwandi mengatakan bahwa sebenarnya kunjungan seperti itu sudah biasa baginya, terutama sejak ia masih bergelut di dalam organisasi GAM.

Dari kunjungan acak itu Irwandi menangkap kesan bahwa rakyatnya tidak ada lagi yang lapar. Yang mengimpit mereka hanyalah masalah ekonomi, sehingga belum mampu hidup layak. Namun, Nek Aisyah yang mereka kunjungi itu tidak bisa jadi ukuran lagi, mengingat ia punya banyak anak.

Kunjungan kali pertama di bulan puasa itu, kata Irwandi, tidak menjamin bahwa semua masyarakat sudah sejahtera. “Tapi saya kan sejak dulu hidup bersama rakyat, sehingga saya tahu pasti bagaimana kehidupan rakyat. Saya kan bukan orang kota,” timpal alumnus Oregon State University, USA, ini.

Ia juga sempat menyentil kalangan LSM. “Seharusnya LSM itu memantau saja agar tidak sampai terjadi korupsi atau penyelewengan. Kalau memang langkah yang saya lakukan salah, tolong mereka berikan solusi, sehingga rakyat cepat mendapatkan pekerjaan,” timpalnya.

Di pengujung pertemuan kami subuh itu Irwandi juga menambahkan, “Kalau semua mantan TNA sudah punya pekerjaan, saya pikir Aceh akan aman.” (zainal arifin m nur)
Copyright © 2007 Serambi Indonesia. All rights reserved.
Edisi: 28/09/2007


No comments: